Thursday, August 21, 2008

NASIB SANG DOKTER

saya sangat salut dengan dunia PARA DOKTER yang hingga kini masih solid...
ditengah hiruk pikuk pekikan "Demokrasi dan Kebebasan untuk berserikat dan Berkumpul" Dunia Para Dokter ternyata membuktikan eksistensinya untuk tetap mengakui hanya "1" organisasi yang merangkul mereka dengan gelar "dr" dibelakang namanya yaitu "IDI".
Dan saya berharap hal itu tetap eksis. Mari kita lihat dunia Sarjana Hukum yang saat ini agak di hantam badai. Mulai dari mereka yang berprofesi sebagai jaksa, Hakim, maupun Advokat. Nah yang terakhir ini kemudian berpolemik dengan adanya dualisme organisasi Profesi (KAI dan PERADI)....
Saya juga mencoba melihat Profesi Guru yang bernaung di bawah PGRI, namun selain PGRI ternyata ada juga banyak organisasi guru lainnya yang mencoba menyuarakan suara anggotanya, misalnya Assosiasi guru honor indonesia dan beberapa organisasi lain yang tidak saya ketahui dengan pasti... (kalau Dosen FK masuk mana ya???)
Melalui topic ini saya juga ingin mengajak TS membandingkan efektivitas antara Organisasi IDI dan PGRI dalam hal memperjuangkan nasib para anggotanya...
Saya salut dengan PGRI yang kini berhasil memperjuangkan nasib anggotanya, bukan saja yang hanya berstatus PNS tetapi juga yang Swasta yang berada di bawah naungan Yayasan Pendidikan... Dari sekian banyak tuntutan Masyarakat agar pemerintah memperbaiki kualitas dunia Pendidikan yang setiap akhir tahun ajaran selalu menjadi sorotan nasional, oleh PGRI bukannya dijadikan bahan untuk menekan anggotanya tetapi malah dijadikan sebagai amunisi baru untuk menuntut perbaikan kesejahteraan anggotanya. bagi mereka yang berhasil lolos sertifikasi akan diberi tunjangan profesi 100-300 persen dari gaji pokok. Dan yang tidak lolos sertifikasi bukan tidak boleh ngajar... cuman kesejahteraan ya hanya gitu2 aja seperti yang kemarin...
Nah sekarang kita Lihat IDI...
Tuntutan untuk proses sertifikasi akhirnya meruntuhkan wibawa universitas yang melepaskannya jika akhirnya pada saat uji kompetensi "dokter" yang oleh almamaternya sudah dianggap punya kemampuan yang MUMPUNI ternyata tidak bisa lolos ujian kompetensi sehingga ada dokter yang "tidak bisa" berprofesi dokter.
Dan yang lulus ujian kompetensi pun tidak mendapatkan jaminan untuk bisa memperoleh hak hidup yang layak seperti GURU...
dan untuk maintenace Ilmu agar selalu up to date yang nota bene akreditasi ditentukan oleh IDI malah dijadikan sebagai barang yang sangat mahal harganya... yang akhirnya para dokter UMUM yang belum punya kehidupan yang layak dengan terpaksa mencekik leher pasien dan dirinya sendiri agar biaya up to date ilmunya bisa terpenuhi....
Kapankah IDI mampu memperjuangkan nasib para anggotanya???

1 comment:

  1. Ya saya sependapat dgn anda, kehidupan seorang dokter umum yg dengan kehidupan pas2an yg terpaksa utk mengupdate ilmunya utk keperluan akreditasi--> demi memperpanjang STR terpaksa harus merogoh koceknya yg lumayan besar. Bagaimana nasibnya jika dia cuma dokter di klinik2 jamsostek, yg gajinya cuma pas2an???Sekali seminar sudah menghabiskan gajinya 1/2 bulann/lebih????
    Apakah memang kita dituntut utk mengikuti perkembangan pengetahuan dr seminar2?? Dari buku pembelajaran yg byk dijual di gramedia kurasa lbh byk memberikan lbh byk informasi dr pada seminar2 yg lebih mengutamakan penjualan2 farmasi mereka!!! Ingat Buku adalah sumber pengetahuan!!
    Masyarakat2 masih menganggap profesi seorang dokter msh menguntungkan sampai2 demi menyekolahkan anaknya menjadi dokter (cuma dokter umum) sampai menjual sawah2,mengadaikan surat tanah, dll. Yg pdhl biaya pendidikan di swasta yg sangat tinggi s/d jengjang profesi kedokteran. Yang akhirnya stlh lulus harus mengikuti ujian kompetensi (bayar baiay ujian), yg stlh lulus pun, hrs mengikuti update2/seminar2 yg hrs dibayar dgn harga mahal (kl anda tdk mempy afiliasi dgn perusahaan obat tersebut) Apakah anda msh menginginkan anak anda jika akhirnya dia cuma bisa jd dokter umum krn keterbatasan biaya dan kemampuan yg pas2an/tdk jenius sekali utk msk program spesialis Universitas Negeri??

    ReplyDelete