Thursday, October 8, 2009

Ayat tentang Rokok Raib

Korupsi Ayat di UU Kesehatan
Kamis, 8 Oktober 2009 | 04:51 WITA

Satu ayat di Undang-Undang Kesehatan yang berkaitan dengan rokok dikorupsi alias raib setelah disahkan pada 14 September 2009. Ayat 2 yang dikorupsi itu memang menjadi inti dari pasal 113.

Pasal 113 yang terdiri dari 3 ayat, (1) Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan. (2) Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan atau masyarakat sekelilingnya.
(3) Produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan. Nah, saat dikirimkan ke Sekretariat Negara (Setneg) RI untuk ditandatangani dan menjadi lembaran negara, pasal 2 sudah tidak ada lagi.
Pasal 3 menjadi pasal 2. Adalah mantan anggota DPR Komisi IX dari Partai Demokrat (PD) dr Hakim Sorimuda Pohan SpOG yang concern terhadap masalah rokok yang memergoki masalah ini karena mendapat protes dari masyarakat.
"Di alat komunikasi saya banyak yang protes. Katanya, sudah dikebiri, undang-undang berbeda dengan yang sekarang, sudah disunat," kisah Hakim yang menerima protes saat kembali dari Tasikmalaya memberikan advokasi kesehatan reproduksi. Hakim lalu menggelar jumpa pers di Hotel Sofyan Betawi, Jl Cut Meutia, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (7/10).
Hakim pun memeriksa naskah yang dimilikinya saat disahkan dan diketahui pasal 113 itu lengkap. Dia lalu melacak ke bagian Sekretariat DPR RI dan menerima naskah UU kesehatan tersebut. Kepala Bagian Sekretariat Komisi IX pun menjelaskan bahwa naskah itu sudah dikembalikan dari setneg.
"Nah ini, kenapa tinggal 2 ayat? Mereka katakan kembali dari setneg sudah seperti ini. Saya tak percaya begitu saja, karena sampul luarnya sudah bahan final, sudah ada kertas putih tebal hardcover mengkilap berlogo DPR RI warna emas, itu artinya draf final dari DPR. Mengapa bisa berubah?" cerita Hakim.
Dia lalu membuka ayat penjelasan di draf final itu. Dan ternyata ayat penjelasnya masih mensyaratkan pasal 113 itu 3 ayat. Personel yang ada di bagian sekretariat pun tidak bisa berkata apa-apa.
"Kalian hati-hati ya, mungkin saja dari kalian ada yang menerima dari industri rokok. Mungkin menerima Rp 5 miliar atau berapa, hati-hati kalian!" ancam Hakim kepada Sekretariat DPR.
Saat itu Hakim dan aktivis antirokok pun rapat di ruangannya. Hakim memutuskan untuk mengirimkan surat ke pimpinan pansus UU kesehatan yang juga pimpinan komisi IX, ketua DPR, badan kehormatan, dan presiden tertanggal 29 September 2009.
Menurut Hakim, baru sekarang ini hal tentang rokok masuk dalam UU Kesehatan. UU Kesehatan yang lama UU 23/1992 pasal yang mengatur tentang tembakau tak berhasil masuk karena ada permainan dari industri rokok. Yang bisa masuk menyangkut psikotropika.
"Sekarang Alhamdulillah bisa masuk. Ini seperti take and give. RUU perlindungan dampak tembakau jadi dijegal, tak diapa-apakan di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI," kata dia.
Ikatan Dokter
Mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dr Kartono Mohamad yang mendapatkan draf UU Kesehatan via e-mail mengaku terkejut. "Saya marah-marah. Saya langsung berkomunikasi dengan Irjen Depkes Faiq Bahfen apakah itu sengaja dihilangkan? Dia bilang tidak hilang, lalu saya ngecek di Kabag Biro Hukum Depkes Pak Budi, dia juga bilang itu tidak hilang. Ternyata depkes tidak tahu ayat itu hilang," kata Kartono.
Sebelumnya Kartono juga sempat menyayangkan karena pasal yang mengatur tentang iklan rokok disepakati pemerintah dan DPR untuk dihilangkan. Untuk ayat 2 Pasal 113 ini, Kartono menduga ada ketidaksinkronan.
"Jadi hilangnya atas pengetahuan setneg, sekretariat DPR atau bahkan atasannya Pak Faiq (Menkes)," ujar Kartono.
"Buat saya ini sudah kurang ajar. Sudah diketok dan disahkan kok dihilangkan. Gobloknya ayat penjelasnya masih ada. Karena itu saya anggap ini kesengajaan. Dan bukan mustahil ini peranan industri rokok yang ikut bermain dalam pengesahan ayat ini," tuding Kartono yang ikut jumpa pers bersama Hakim.
Uang berlimpah yang dimiliki industri rokok, imbuh Kartono, membuat para pelaku industri rokok bisa melakukan dan membeli apa pun. Kartono mencontohkan penghilangan pasal yang mengatur iklan rokok yang tadinya ada di UU kesehatan. DPR dan pemerintah menyepakati penghilangan pasal yang mengatur iklan rokok itu.
"Kami, depkes, kurang setuju," ujar Kartono menirukan Irjen Depkes Faiq Bahfen saat menanyakan pasal yang mengatur tentang iklan rokok hilang dari UU Kesehatan. Dugaan ini diperkuat anggota pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi.
"Mereka (Depkes) mengatakan iklan rokok ini bukan berada di sektor kesehatan. Ini bukan berdiri sendiri, ada sinyal yang lain dari pihak lain. Dan Depkes ini satu-satunya Depkes di dunia yang berkeberatan terhadap UU Pengaturan Dampak Tembakau," tukas Tulus.
Selain itu, Kartono mengatakan suatu UU setelah disahkan memasuki titik kritis. Karena biasanya anggota DPR dan masyarakat tidak ngeh kalau ada pasal atau ayat yang diubah-ubah. Terlebih saat UU itu kejar tayang, menjelang akhir masa jabatan DPR.
"Meskipun ayat ini dikembalikan setelah dipukuli beramai-ramai, tapi kejahatan sudah berlaku. Seperti orang korupsi kendati uang dikembalikan tetap dihukum. Harus ditindaklanjuti sehingga jadi pembelajaran. Saya setuju itu harus diajukan ke polisi untuk diselidiki," tukas dia.(*)

dikutip dari : http://www.tribun-timur.com//read/artikel/51803