Thursday, August 21, 2008

Dokter : Pengabdian Vs Kompetensi

Pernahkah kita merenung sejenak melihat perilaku kita-kita yang bergabung dalam profesi yang meng-identikkan diri dengan JAS PUTIH...
Beberapa waktu yang lalu ketika saya mengikuti sebuah symposium & workshop yang diselenggarakan oleh IDI, saya ketemu dengan teman-teman lama yang seperjuangan ketika masih "menuntut" Ilmu di bangku kuliah...
saya coba tanya ttg aktivitasnya saat ini, ternyata dia ditempatkan di sebuah pulau yang dalam peta Indonesia mungkin tidak sempat tergambar apalagi dalam peta Dunia -hmm... bagaimana mau pakai navigasi GPS ya??? :) -
saya tanya ttg pengalaman dia selama menjalankan tugasnya sebagai dokter PTT di pulau tersebut, ternyata untuk menjangkau pulau tersebut penduduknya masih menggunakan sistem arah angin dengan perahu layar. sehingga bila arah anginnya berbalik maka kita tidak bisa ke pulau tsb... dan saya tanya kapan itu?... ya sekitar 3 bulan lagi katanya...

mendengar hal tersebut... saya sempat termenung...
apakah teman saya ini sadar meninggalkan tempat tugasnya untuk waktu yang sekian lama? bagaimana jika ada warga yang butuh pertolongan dia? bagaimana jika ada pasien yang emergency? ....

namun... saya berpikir lagi...
layakkah kita menyalahkan Ts kita dengan sikapnya tersebut? salahkah dia bila pulang kampung tapi tidak bisa untuk segera balik lagi ke tempat tugasnya? bila dia berada di tempat tugasnya terus menerus, bagaimana dengan tuntutan untuk melakukan updating ilmu pengetahuan. Sementara kalau hal tidak mengikuti pendidikan kedokteran berkelanjutan bagaimana nasib dia 5 tahun ke depan? apakah dia masih diberikan kesempatan untuk mendapatkan sertifikat kompetensi hanya dengan mengatakan bahwa dia selama ini tidak sempat updating ilmu karena mengabdi di tempat yang tidak terjangkau...

waduh... saya kadang bingung kalau melihat hal ini...
terkadang saya berpikir bagaimana seandainya saya yang ada di posisi dia??? apakah saya harus memilih pengabdian kepada bangsa dan negara ini ataukah menyelamatkan karir saya untuk mengejar kompetensi yang saya impikan...

MERDEKA...

NASIB SANG DOKTER

saya sangat salut dengan dunia PARA DOKTER yang hingga kini masih solid...
ditengah hiruk pikuk pekikan "Demokrasi dan Kebebasan untuk berserikat dan Berkumpul" Dunia Para Dokter ternyata membuktikan eksistensinya untuk tetap mengakui hanya "1" organisasi yang merangkul mereka dengan gelar "dr" dibelakang namanya yaitu "IDI".
Dan saya berharap hal itu tetap eksis. Mari kita lihat dunia Sarjana Hukum yang saat ini agak di hantam badai. Mulai dari mereka yang berprofesi sebagai jaksa, Hakim, maupun Advokat. Nah yang terakhir ini kemudian berpolemik dengan adanya dualisme organisasi Profesi (KAI dan PERADI)....
Saya juga mencoba melihat Profesi Guru yang bernaung di bawah PGRI, namun selain PGRI ternyata ada juga banyak organisasi guru lainnya yang mencoba menyuarakan suara anggotanya, misalnya Assosiasi guru honor indonesia dan beberapa organisasi lain yang tidak saya ketahui dengan pasti... (kalau Dosen FK masuk mana ya???)
Melalui topic ini saya juga ingin mengajak TS membandingkan efektivitas antara Organisasi IDI dan PGRI dalam hal memperjuangkan nasib para anggotanya...
Saya salut dengan PGRI yang kini berhasil memperjuangkan nasib anggotanya, bukan saja yang hanya berstatus PNS tetapi juga yang Swasta yang berada di bawah naungan Yayasan Pendidikan... Dari sekian banyak tuntutan Masyarakat agar pemerintah memperbaiki kualitas dunia Pendidikan yang setiap akhir tahun ajaran selalu menjadi sorotan nasional, oleh PGRI bukannya dijadikan bahan untuk menekan anggotanya tetapi malah dijadikan sebagai amunisi baru untuk menuntut perbaikan kesejahteraan anggotanya. bagi mereka yang berhasil lolos sertifikasi akan diberi tunjangan profesi 100-300 persen dari gaji pokok. Dan yang tidak lolos sertifikasi bukan tidak boleh ngajar... cuman kesejahteraan ya hanya gitu2 aja seperti yang kemarin...
Nah sekarang kita Lihat IDI...
Tuntutan untuk proses sertifikasi akhirnya meruntuhkan wibawa universitas yang melepaskannya jika akhirnya pada saat uji kompetensi "dokter" yang oleh almamaternya sudah dianggap punya kemampuan yang MUMPUNI ternyata tidak bisa lolos ujian kompetensi sehingga ada dokter yang "tidak bisa" berprofesi dokter.
Dan yang lulus ujian kompetensi pun tidak mendapatkan jaminan untuk bisa memperoleh hak hidup yang layak seperti GURU...
dan untuk maintenace Ilmu agar selalu up to date yang nota bene akreditasi ditentukan oleh IDI malah dijadikan sebagai barang yang sangat mahal harganya... yang akhirnya para dokter UMUM yang belum punya kehidupan yang layak dengan terpaksa mencekik leher pasien dan dirinya sendiri agar biaya up to date ilmunya bisa terpenuhi....
Kapankah IDI mampu memperjuangkan nasib para anggotanya???